Dan yaa teman-teman, ada satu cerita yang seharusnya untuk tugas kording sekolah namun dengan begonya gw menulis cerpen yang di luar tema. Sial -,- Jadi daripada mubazir gue post disini aja yah. ENJOY!
“Asik yah yang baru jadian. Kamu akhirnya punya pacar juga.” Kata seorang teman di pagi hari sebelum bel masuk berbunyi. Aku baru jadian kemarin, kabar begitu cepat tersebar sampai-sampai aku tidak bisa berkata-kata kalau ada yang berbicara kepadaku seperti itu. Pagi itu rasanya pagi yang paling cerah dari segala pagi yang pernah aku rasakan. Memang benar ternyata, kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya. Tak terpikirkan lagi kalau kelak berpisah, rasanya hanya satu. Menyedihkan. Ini pertama kalinya aku berpacaran. Seumur-umur aku tidak pernah suka hal-hal yang berbau romantis. Malahan, aku pernah berjanji tidak akan pacaran sampai SMA nanti. Dimana teman-teman seangkatanku sudah mempunyai pacar, aku masih bergelut di dunia prestasi. Aku selalu jadi anak “kutubuku” yang digunakan orang sebagai kamus berjalan.
“Asik yah yang baru jadian. Kamu akhirnya punya pacar juga.” Kata seorang teman di pagi hari sebelum bel masuk berbunyi. Aku baru jadian kemarin, kabar begitu cepat tersebar sampai-sampai aku tidak bisa berkata-kata kalau ada yang berbicara kepadaku seperti itu. Pagi itu rasanya pagi yang paling cerah dari segala pagi yang pernah aku rasakan. Memang benar ternyata, kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya. Tak terpikirkan lagi kalau kelak berpisah, rasanya hanya satu. Menyedihkan. Ini pertama kalinya aku berpacaran. Seumur-umur aku tidak pernah suka hal-hal yang berbau romantis. Malahan, aku pernah berjanji tidak akan pacaran sampai SMA nanti. Dimana teman-teman seangkatanku sudah mempunyai pacar, aku masih bergelut di dunia prestasi. Aku selalu jadi anak “kutubuku” yang digunakan orang sebagai kamus berjalan.
Awalnya memang menyenangkan. Namanya juga masih kecil, waktunya masih untuk bermain dan belajar. Tidak ada yang namanya bertengkar dan sebagainya. Ken memang terkenal sebagai anak yang banyak “mantan”nya. Tidak sedikit pula yang memperingatiku akan sifatnya. Biar begitu, hatiku tetap saja dengan mudahnya diluluhkannya. Semua berjalan baik-baik saja.
“Ela, kamu baik-baik ya. Jangan pernah lupakan aku ya sayang.”
“Kamu ngomong apa sih Ken? Kamu ngigau ya?”
“Ya, maksud aku yah kamu jangan macam-macam sama teman-teman kamu. Nanti ada yang godain kamu lagi, lalu kamu lupa sama aku.”
“Ha-ha..... ya tidak mungkin dong sayang, aku tidak akan tergoda sama teman-teman laki-laki aku, tidak ada yang seperti kamu, dan yang aku mau tuh hanya kamu seorang.”
“Hei, kamu sudah pintar menggombal yah, siapa yang mengajari?”
“Ih, Ken. Sudah deh, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman dengan teman-temanku. Aku sudah senang memiliki kamu.”
“Iya Ela, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan selama ini.”
Semua memang rasanya itu indah sekali. Tak terasa enam bulan sudah berlalu. Masalah terjadi. Hari esok adalah peringatan enam bulan kami. Rencananya kami akan pergi ke pantai kota. Aku pun sudah mengatur agendaku untuk besok supaya tidak ada rencana lain yang menghalangi rencana kami itu. Keesokan harinya, sepulang sekolah, ayahku menelepon.
“Ela, kamu sudah pulang belum?”
“Belum, Yah. Ada apa?” tanyaku heran.
“Baiklah, kamu tunggu di sekolah saja. Ayah akan jemput. Kita ke rumah sakit, adikmu kecelakaan motor sepulang dia sekolah. Keadaannya parah sekali.” Suara ayah lemas.
“Ya, Tuhan. Kok bisa begitu? Baiklah, Yah, aku tunggu.” Jawabku panik.
5 menit kemudian, ayah sudah menungguku di gerbang sekolah. Aku segera memasuki mobil dan segera menuju ke rumah sakit. Sesampainya di sana kulihat adik terbaring tak berdaya di atas ranjang unit gawat darurat. Tubuhnya terbalut puluhan perban di mana-mana. Adik belum tersadar. Aku pun terkulai lemas di tepi ranjang adik. Beberapa saat kemudian, seorang dokter memasuki kamar. Kata dokter, adik harus dioperasi. Kemungkinan adik akan lumpuh. Kemudian kami disuruh keluar kamar karena mereka akan memeriksa adik.
Di ruang tunggu, aku masih termenung. Sesekali mengambil tisu untuk mengelap air mata. Tiba-tiba ponselku bordering. Ada pesan masuk. Dari Ken.
“Ela, kamu tidak ada di sekolah? Aku mencarimu berjam-jam. Kamu dimana?”
“Aku tidak bisa datang.”
Kemudian Ken meneleponku namun tidak aku angkat satu pun. Aku mematikan ponsel. Aku terlalu sibuk dengan memikirkan adik. Bagaimana kalau adik tidak terbangun dari tidurnya? Mengapa harus dia yang harus bertahan hidup dengan bantuan mesin saat ini? Aku pun teringat tawaku bersama dengan adik. Semakin terguyurlah seluruh wajahku dengan air mata. Aku tidak sanggup untuk diam. Aku menangis tiada hentinya. Ayah memelukku.
Malamnya, adik sudah selesai dioperasi. Namun tubuhnya masih belum sadar. Aku masih belum lega sama sekali. Aku memaksa untuk menemani adik di rumah sakit. Namun besok aku harus sekolah. Akhirnya aku pulang. Esok harinya, aku masuk sekolah. “Ela, yang sabar ya. Kami ada untuk kamu. Semoga adikmu segera sembuh.” Kata seorang sahabat yang kemarin menjenguk adikku. Aku hanya tersenyum.
Waktu istirahat, Ken menghampiriku dengan wajah kesal. Wajah dinginnya yang menunjukkan hari itu ia sedang kesal. Aku pun heran, adikku sedang berjuang mempertahankan hidupnya di rumah sakit sementara ia kesal denganku tanpa alasan? Rasanya aku hanya ingin meneriaki dia dan menamparnya saat itu juga.
“Kamu ada apa kemarin? Kamu tidak tahu ya aku menunggumu di pantai sendirian? Kamu hanya mempermainkan aku?” kata Ken kepadaku.
Aku tidak menjawab. Aku begitu kesal dengannya saat itu. Aku tidak sanggup untuk berbicara dengannya karena aku hanya ingin untuk meneriakinya saat itu. Akhirnya aku hanya pergi meninggalkan dia. Dia pun berlari dan meraih tanganku.
“Jawab aku, Ela!”
“Lepaskan aku!”
“Jawab!”
“Kamu mau jawaban? Kemarin adikku kecelakaan dan sampai saat ini ia belum sadar!”
Dia pun terdiam. Aku pun langsung menuju mobil ayahku. Ayah sudah menungguku untuk mengantar ke rumah sakit. Ken yang terdiam disitu, semakin kesal dan kesal dalam hatinya. Kesal akan dirinya sendiri. Ia pun meraih sepedanya dan segera pergi dari sekolah. Ia pun menangis. Itu pertama kalinya ia mengeluarkan ia air mata. Ia terus mengayuh sepedanya.
Aku di rumah sakit sudah bisa melihat adik terduduk di atas ranjangnya. Aku pun menangis terharu dan memeluknya. Rasanya seperti rasa cemasku sudah terangkat bagai kabut yang hilang di siang hari. Aku menelepon Ken untuk memberi tahu kabar gembira ini. Namun kakaknya yang mengangkat.
“Ela, Ken tidak ada.”
“Dimana dia, Kak?”
“Ken sudah tidak ada lagi.”
“Maksud kakak? Kak, jangan bercanda.”
“Ken kecelakaan sepeda saat pulang sekolah dan ia tertabrak bus. Ken sudah ada di atas sana, Ela.” Jawab sang kakak dengan menangis di akhir kata. Aku pun langsung pergi ke rumah sakit dimana Ken ditangani dan masih tidak percaya.
“Ken! Kamu janji tidak akan meninggalkan aku! Kenapa harus kamu yang ada di atas sana?” Aku pun kembali menangis tiada henti.
Esoknya aku pergi ke rumah duka. Mataku sudah bengkak tak karuan. Aku memegang tangan Ken dan berkata, “Ken sayang, kamu yang tenang ya disana. Selamat tinggal, Ken.”
"If you're going to make me cry, at least BE THERE to wipe away the tears."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar